eramuslim - Huwaaa...!!!
Kaget karena terbangun jam 9 pagi. Ini nih resiko, kalau habis sholat Subuh molor lagi. Sempat ngedumel juga dalam hati, kok istri nggak bangunkan dari tadi sih? Karena teriakan sendiri, anak yang masih tidur juga langsung terbangun dan menangis, wuaah...
Kaget karena terbangun jam 9 pagi. Ini nih resiko, kalau habis sholat Subuh molor lagi. Sempat ngedumel juga dalam hati, kok istri nggak bangunkan dari tadi sih? Karena teriakan sendiri, anak yang masih tidur juga langsung terbangun dan menangis, wuaah...
Lalu
buru-buru ke kamar mandi, byur... byur... Nggak pakai acara nyanyi-nyanyi,
seperti kebiasaan kalau lagi mandi. Berhubung mandinya super kilat, tentu saja
pasti ada bagian tubuh yang kurang mengkilap. Istri yang sedang ngasih sarapan
pagi untuk anak cuma senyum-senyum, sambil bernyanyi kecil.
Mandi
pagi tidak biasa
Mandi sore ya sama saja
Tidak mandi sudah biasa
Badan bau luar biasa
Mandi sore ya sama saja
Tidak mandi sudah biasa
Badan bau luar biasa
Grrrh...!!!
Gimana sih, udah heboh begini malah diledek. Sebagai suami nggak mau dong diledekin sama istri, karena itu langsung ngasih perintah, "Udah, siapin bentou sana!" Tak lupa wajah dibuat seram. Eh, doi nggak takut, malah cekikikan, hi... hi... hi...
Tak
lupa ngeledek lagi, "Makanya pacaran sama Neng Kokom jangan sampai
malam." Duuh, udah bingung begini karena khawatir telat dan takut sama sensei,
malah diajak becanda. Reseh juga nih!
Akhirnya
semua kelar juga dan akan langsung keluar rumah. Telah sampai di depan pintu,
istri sempat teriak, "Idih, mau langsung berangkat. Lupa ya?"
Apaan
sih? Kok jadi telmi begini. Emang benar, tergesa-gesa itu perbuatan setan,
hingga semua kebiasaan jadi terlupakan. Oh iya! Balik lagi, muah... muah...
buat istri dan buah hati tercinta.
Tak
lupa istri berkata, "Nah gitu dong, jangan awal-awal nikah saja
muah-muahnya," katanya sambil kembali cekikikan.
Grrrh...!!!
Pakai acara disindir lagi. Duuh Gusti Allah, tabahkan hamba-Mu ini.
Pakai acara disindir lagi. Duuh Gusti Allah, tabahkan hamba-Mu ini.
***
Wah,
ternyata hari ini memang kurang bersahabat. Kesiangan ke kampus dan di luar
hujan turun dengan deras. Tapi nekat, maju tak gentar menerobos hujan. Karena
angin yang bertiup kencang, rangka payung jadi patah. Masih untung pakai jaket
walau tak urung sebagian tubuh jadi basah. Duuh, ada apa sih hari ini, mengeluh
dalam hati.
Fuih...
Akhirnya dengan masih terengah-engah, tiba juga di ruang seminar. Walaupun teman-teman sudah berkumpul, tapi sensei belum juga datang. Kadang mikir, kalau sama sensei kok takut telat ya, tapi sholat kok selalu terlambat? Tapi sholat kan waktunya panjang, ntar juga bisa. Lagipula Allah juga Maha Pemaaf, berkata dalam hati untuk membenarkan diri sendiri.
Akhirnya dengan masih terengah-engah, tiba juga di ruang seminar. Walaupun teman-teman sudah berkumpul, tapi sensei belum juga datang. Kadang mikir, kalau sama sensei kok takut telat ya, tapi sholat kok selalu terlambat? Tapi sholat kan waktunya panjang, ntar juga bisa. Lagipula Allah juga Maha Pemaaf, berkata dalam hati untuk membenarkan diri sendiri.
Tak
lama, seorang laki-laki umuran yang selalu mengenakan kacamata tebal dengan
bingkai berwarna hitam serta rambut di kepala yang sebagian sudah hilang pun
datang. Serempak, seluruh penghuni ruangan mengucapkan salam seraya sedikit
menundukkan kepala.
Setelah
itu, waktu pun berjalan dengan sangat lamban. Entah apa yang dijelaskan oleh
teman-teman yang lagi presentasi. Duuh, sudahlah menggunakan bahasa Jepang,
ditambah lagi ngomongnya cepat sekali. Alhasil, lebih banyak bengong daripada
mengerti. Kenapa mereka enggak pakai bahasa Inggris saja ya? Kan setidaknya
bisa lebih dipahami. Wah, ngeluh lagi. Tapi, kok malah nyalahkan orang, salah
sendiri ngapain kuliah di Jepang!
Syukurlah,
akhirnya selesai juga. Kalau lebih lama, mungkin sudah tertidur di kursi. Lalu
ke ruangan lab, buka komputer untuk cek email.
Gedubrak...!!!
Banyak banget email yang masuk hari ini, padahal baru semalam dihapus. Orang Indonesia memang sifatnya ramah dan hobi ngobrol, apalagi kalau udah 'ngompol'. Semua seakan-akan jadi pakar, dan merasa pendapatnya yang paling benar. Sibuk sih sibuk, tapi ngobrol selalu jalan terus. Lalu asyik membaca email sambil minum secangkir teh hangat.
Banyak banget email yang masuk hari ini, padahal baru semalam dihapus. Orang Indonesia memang sifatnya ramah dan hobi ngobrol, apalagi kalau udah 'ngompol'. Semua seakan-akan jadi pakar, dan merasa pendapatnya yang paling benar. Sibuk sih sibuk, tapi ngobrol selalu jalan terus. Lalu asyik membaca email sambil minum secangkir teh hangat.
Uhuk...
uhuk...
Jadi kaget hingga keselek, karena ternyata sensei sudah berdiri di samping meja belajar. Mungkin karena keasyikan menelaah kalimat demi kalimat di setiap email, jadi tidak menyadari kehadiran beliau. Tak banyak yang dikatakannya, selain hanya meletakkan setumpuk lembaran kertas yang penuh coretan berwarna merah sambil mengatakan kalau perbaikannya harus selesai malam ini juga.
Jadi kaget hingga keselek, karena ternyata sensei sudah berdiri di samping meja belajar. Mungkin karena keasyikan menelaah kalimat demi kalimat di setiap email, jadi tidak menyadari kehadiran beliau. Tak banyak yang dikatakannya, selain hanya meletakkan setumpuk lembaran kertas yang penuh coretan berwarna merah sambil mengatakan kalau perbaikannya harus selesai malam ini juga.
Walah,
ngerjain banget nih. Emang enak bikin jurnal? Sudahlah masalah grammar kadang
membingungkan, belum lagi ide yang harus dijabarkan dengan pembuktian yang
benar. Duuh, akhirnya mengeluh lagi.
Sekelebat
pikiran melayang, membayangkan istri dan anak di rumah. Ah, pasti mereka lagi
enak-enakan. Kulkas yang penuh beraneka ragam makanan, bisa jadi cemilan buat
dimakan. Kalau ngantuk, tinggal tidur. Apalagi dingin-dingin seperti ini, pasti
lebih enak meringkuk di dalam selimut. Enggak mesti suntuk menghadapi buku-buku
dan berpuluh-puluh jurnal yang harus dirujuk. Wah, jangan-jangan istri dan anak
benaran lagi tiduran setelah kenyang makan cemilan. Uh, jadi iri!
Karena
puyeng dengan segala macam teori yang menjejali otak, akhirnya merebahkan
kepala di atas meja belajar. Sebentar melepaskan rasa penat dan kesuntukan.
***
Langit
berubah kelam, tak lama gerimis menyibak celah-celah hitamnya awan. Sebentar
saja, hujan turun dengan derasnya mengurapi bumi. Dalam hujan, desau angin
terdengar kencang sekali. Beberapa kali pula, halilintar menggelegar dan
memekakkan telinga. Aku pun segera berlari dan berteduh di emperan pertokoan di
dekat sebuah terminal. Bergabung dengan begitu banyak wajah-wajah yang juga
tampak mengeluh karena hujan menghambat mereka untuk segera pulang ke rumah.
Namun...
Terdengar kecipak-kecipak kaki menyibak genangan air, dan kemudian terlihat wajah-wajah mungil yang berseri-seri. Tampak bocah-bocah kecil mengenakan kaos yang sedikit robek dan bercelana pendek, serta tak sedikit yang bertelanjang dada. Kaki-kaki tanpa alas itu berlari mengejar bus-bus yang baru tiba seraya berteriak, "Payung... payung...!!!"
Terdengar kecipak-kecipak kaki menyibak genangan air, dan kemudian terlihat wajah-wajah mungil yang berseri-seri. Tampak bocah-bocah kecil mengenakan kaos yang sedikit robek dan bercelana pendek, serta tak sedikit yang bertelanjang dada. Kaki-kaki tanpa alas itu berlari mengejar bus-bus yang baru tiba seraya berteriak, "Payung... payung...!!!"
Mereka
juga berlari dengan semangat ke sana ke mari sambil menggenggam payung yang
berukuran besar dibandingkan dirinya sendiri. Kulihat mereka meminjamkan payung
besarnya itu setelah tawar menawar kepada yang ingin menggunakan jasanya.
Setelah memberikan payungnya, mereka berlari di belakang dan mengikuti orang
yang menyewa dengan langkah-langkah kecil setengah berlari.
Tak
urung mereka terlihat menggigil kedinginan karena hujan sebesar butiran jagung
menimpa tubuh kecilnya. Sehingga, berkali-kali diusapnya air hujan yang
membasahi wajah dan sekujur tubuhnya. Walaupun paras wajahnya tampak pucat,
namun kulihat senyum mereka tetap mengembang. Setelah menerima uang, lantas
mereka berlari untuk mencari orang yang mau meminjam payungnya kembali.
Anak-anak
payung yang selalu muncul di musim hujan itu sama sekali tak kulihat mengeluh,
karena bagi mereka memang tak ada waktu untuk itu. Padahal belum saatnya bagi
mereka di usia yang masih begitu muda kalau harus mencari uang demi keluarga
atau kebutuhan sekolah.
Aku
tersenyum menyaksikan kegigihan mereka sambil menahan malu di dada. Betapa
banyak nikmat dan rezeki yang telah diterima selama ini tak membuatku tambah
bersyukur, malah menghabiskan waktu dengan lebih banyak mengeluh. Padahal apa
sih yang kurang? Rasanya aku tak terlalu tangguh untuk menghadapi setiap
permasalahan yang muncul, karena hanya bisa mengeluh dan selalu mengeluh.
Bocah-bocah
kecil itulah sesungguhnya pejantan-pejantan tangguh. Mereka tak pernah ragu dan
mengeluh karena harus menantang kehidupan yang keras serta terkadang angkuh.
Aku kembali tersenyum lalu bergumam seraya menatap mereka, "Ajari aku 'tuk
jadi pejantan tangguh."
Ups...
Tanpa sadar, terpal plastik yang melindungiku dari hujan tak mampu lagi menampung air. Tali yang mengikat terpal pada rangka itupun terlepas, dan aku yang berlindung di bawahnya menjadi basah. Dengan gelagapan aku berlari menjauhinya, namun...
Tanpa sadar, terpal plastik yang melindungiku dari hujan tak mampu lagi menampung air. Tali yang mengikat terpal pada rangka itupun terlepas, dan aku yang berlindung di bawahnya menjadi basah. Dengan gelagapan aku berlari menjauhinya, namun...
"Okinasai...
okinasai..."
terdengar suara entah di mana, karena terdengar begitu pelan. Mataku
mengerjap-ngerjap dan masih setengah sadar. Mimpi tentang kehidupan
pejantan-pejantan tangguh di Jakarta pun perlahan buyar, lalu kembali ke dunia
nyata. Samar-samar, tampak seraut wajah yang berkacamata tebal dengan bingkai
berwarna hitam, dan kepalanya sedikit botak sambil memegang sebuah botol berisi
sisa minuman mineral.
Huwaaa...!!!
WaLlahu
a'lamu bish-shawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar